Toko Bahagia

Sedari kecil Diandra sudah tahu keberadaan toko itu. Dulu sekolahnya persis berada di sebelah toko tersebut. Setiap pulang sekolah, ia selalu melambatkan jalan jika berada di depannya. Ada dorongan kuat untuk memasukinya. Tapi ada cengkraman lebih kuat pula yang menahan langkah kakinya agar meneruskan langkah kaki menuju pulang.

Setiap pagi, Diandra selalu membulatkan tekad akan datang ke toko tersebut. Tapi tekad tersebut selalu menguap di siang hari bersamaan menghilangnya rasa berani untuk menatap Gladys.

Tak pernah ada yang tahu. Gladys, cewek paling cantik seisi SMA Bangsa ini. Setiap hari meminta uang padanya. Tidak banyak. Kata Gladys. Tapi seharusnya uang itu bisa dibelikan makan siangnya. Dan uang itu Gladys digunakan hanya untuk beli rokok dan bir saja.

Begitu dan begitu. Setiap hari. Tiga tahun sudah ia menjadi pelayan Gladys. Tanpa diketahui siapapun. Diandra skeptis bahkan gurunya bisa membantunya.

Hari ini Diandra seperti biasa lambat-lambat melangkahkan kakinya ketika melewati toko tersebut. Ia sudah sangat hapal dengan penampakan luar toko tersebut. Tanaman merambat menutupi sebagian pintunya yang terbuat dari kayu jati. Menggigit bibirnya, Diandra memaksa kakinya berbelok ke pintu kayu tersebut.

Begitu Diandra memasuki toko tersebut, harum lavender langsung memenuhi rongga hidungnya. Seketika, Diandra menjadi lebih santai. Berkeliling toko yang hanya berukuran 2x2 meter tersebut. Banyak benda-benda kuno terdapat di sana.

Tirai bambu yang mempunyai pendar redup. Diandra berpikir tirai tersebut ada kabel listriknya.

Kotak musik kayu yang terus mengalunkan nada baik saat membuka maupun menutup. Sebuah buku yang kelihatannya berusia sangat tua dengan segel emas di sekelilingnya.

Sampai ada tangan kecil nan mungil menggenggam pergelangan tangannya.

“Selamat datang” suaranya seperti denting lonceng di kejauhan. Sangat murni.

Diandra cukup kaget dengan kehadiran perempuan muda yang tiba-tiba itu. “Ahhh, halo selamat siang” Diandra mengangguk sedikit.

“Selamat datang di toko bahagia” lanjut perempuan tersebut. Rambutnya yang keriting ada yang jatuh di antara matanya.

“Toko apa?” Diandra berusaha memastikan pendengarannya.

“Ini, hal yang kamu butuhkan” sembari menyodorkan botol kecil berwarna coklat ke dalam genggaman tangan Diandra. Diandra mengamati botol kecil tersebut. Seperti botol berisi vitamin C untuk masker muka.

“Eh, tapi...tapi saya tidak punya uang. Saya hanya melihat-lihat saja karena sudah penasaran sejak lama. Saya...”

Perempuan itu hanya menaruh jari telunjuknya dengan lembut ke arah bibirnya sendiri. Lalu pergi menghilang di balik pintu belakang toko tersebut.

Masih terheran-heran, Diandra pun keluar dari toko tersebut.

Hanya untuk menemui mimpi buruknya selama ini.

Gladys yang melihat Diandra, langsung mencengkram kerah seragamnya. Diandra yang tidak siap, ikut terseret dan menjatuhkan tasnya. Isinya berhamburan.

Plak! Plak!

Ini hari liarnya Gladys. Pikir Diandra. Akhir-akhir ini Diandra sangat sering jadi pelampiasan mood buruk Gladys.

“Heh! Gue denger loe ngobrol sama cowok gue ya? Mau ngapain loe? Mau sok genit-genitan?”

Tommy? Dalam seabad Diandra selalu berusaha dalam radius satu kilometer dari Tommy. Bahkan ketika sebenarnya Diandra akhirnya mengetahui, Gladys mengajak T ommy berpacaran hanya karena Diandra menyukai T ommy duluan.

Kenapa? Apa salah dirinya? Diandra merasa lelah.

Jatuh tersuruk. Diandra baru berani membuka matanya. Mereka berdua berada di lapangan rumput di belakang sekolah. Sejauh itu Gladys dari tadi menyeret sambil memukulinya?

“Jawab! Jangan sok polos loe!” Gladys mulai menendang perut, kaki dan kepala Diandra.

Diandra lelah. Lelah. Lelah. Ia sudah tidak punya tenaga. Ia hanya berusaha melindungi wajahnya agar tidak babak belur seperti bagian badannya yang lain.

Diandra sangat lelah!

“Diaaaaammmm! Berhenti!” Diandra akhirnya mengumpulkan segenap kekuatannya yang tersisa untuk mendorong Gladys. Tanpa ingat ia masih menggenggam botol kecil berwarna coklat tersebut.

Krak. Ada bunyi retakan botol yang pecah.

Kejadian selanjutnya bagaikan berjalan dengan kecepatan sepersekian detik. Jeritan memilukan dari Gladys. Pusaran angin berwarna merah darah. Dan botol kecil yang pecah berkeping-keping melayang di udara.

Lalu, seperti sebelumnya. Hanya ada sepersekian detik yang sangat hening. Angin berhenti bertiup.

Diandra tetap bergeming menyaksikan semua itu. Masih belum bisa mencernanya.

Ketika keheningan itu akhirnya pergi, Diandra hanya seorang diri di lapangan rumput itu.

“Gladys? Gladys?” Diandra reflek memanggil nama yang paling dibencinya itu. Tetapi Diandra benar-benar hanya sendirian.


Catatan kaki : ini pastinya terinspirasi manga Toko Bahagia yang pernah saya baca di masa kecil (suram ya masa kecil bacaannya gore semacam ini). Yang pasti pas pikiran saya lagi lelah lagi nih. Cerita ini wujud ingin menghancurkan sistem yang 'menghajar' saya selama ini :)

Komentar

Postingan Populer