Pria Hush Puppies

Credit photo : here 


Aku biasa melihatnya tepat setengah jam sebelum keretaku tiba. Kereta kami. Dengan kemeja yang kebanyakan berwarna biru, biru laut, atau biru dongker. Sepertinya ia senang dengan warna tersebut. Aku lupa kapan dan bagaimana tepatnya kehadirannya kutunggu. Yang kuingat adalah pada suatu sore aku bersama Mba Ivon, sedang menunggu kereta. Kereta kami.

“Eh mba, lihat cowok yang itu gak?” kataku ke mba Ivon menunjuk pria tersebut. Yang tentu saja aku tidak benar-benar menunjuk pria tersebut. Hanya sebatas lirikan mataku. Mba Ivon pun mengikuti arah pandanganku. Mengamati sejenak pria tersebut. Lalu menyeruput kembali ice lattenya.

“Lihat Rei, kenapa? Lo naksir ya?” tembak mba Ivon. 5 tahun kami menjadi rekan kerja, rupanya aku tak perlu menyembunyikan apapun darinya.

“Lah, mba ivon. Orang cuma disuruh lihat aja kok”
“Ya abis ngapain coba merhatiin cowok kalo bukan naksir” mba Ivon agak sedikit tidak memperdulikanku. Ia malah menghentikan langkahnya tiba-tiba dan langsung menyeret tanganku.
“Eeeehh, majalah ini udah muncul aja nih. Rei pinjem uang dulu Rei, lagi gak ada recehan niih...” todongnya.

“Ada-ada aja deh, bentar lagi mau dateng nih kereta. Kalau ketinggalan gimana?” sambil menggerutu aku pun berusaha secepat kilat mengeluarkan uang dan membayarkannya pada loper majalah.

“Terima kasih ya neng” ujar bapak loper majalah tersebut padaku. Aku hanya tersenyum nyengir dan gantian menarik tangan mba Ivon agar kami bergegas.

Betul saja kan, kereta kami datang. Setengah berlari aku menyeret mba ivon menaiki tangga. Sedangkan ia sendiri sibuk memegangi majalah wanita dan gelas ice latte secara bersamaan. Ketika kami berhasil menaiki kereta, pintu kereta segera menutup di belakang kami.

“Fhuhhh, untung pas” kataku sambil mengibas-ibaskan tangan. Kami tidak dapat duduk pastinya. Jam pulang kerja seperti ini jangan berharap dapat duduk. Bisa naik saja sudah bersyukur. Mataku lalu mencari-cari pria itu lagi. Ah, ternyata ia masuk di gerbong sebelah.

“Hush Puppies” aku menggumam sendiri.
“Hah? Apa Rei?” mba ivon rupanya mendengar gumamanku.
“Nggak mba, itu cowok yang tadi aku bilang pake jaket Hush Puppies”
“Make jaket? Dih lebay, emang sedingin apa sih ini kereta?” cibir mba ivon. Giliran aku yang sekarang tidak memperdulikan mba Ivon.

Begitulah awalnya aku memperhatikan pria tersebut. Atau lebih tepatnya, pria itu menjadi pusat perhatianku setiap senja. Stasiun Sudirman yang penuh sesak dan sangat kejam perlakuannya terhadap pengguna kereta pun sekarang tidak kurasakan lagi. Sikut-sikutan di pintu kereta hanya demi mendapatkan tempat duduk saja malah membuatku senang. Cintakah perasaan ini disebut? Ahh...rasanya aku pernah jatuh cinta dan rasanya lebih hebat daripada ini. Aku hanya menikmati perasaan damai campur senang yang kudapat saat mengamatinya. Bahkan aku hapal setiap lekukan tubuhnya, lekukan tasnya. Ada sedikit sompal di ujung kiri tas punggung hitam kesayangannya itu. Jika aku melihat dia dari belakang pun, aku bisa memastikan pemilik punggung itu adalah dia. Pria Hush Puppies-ku.

Tanpa kusadari, aku jadi selalu menunggu saatnya senja. Saat menunggu di stasiun yang penuh sesak dengan orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Terkadang, turun dari bis dan mulai memasuki stasiun saja aku sudah senang. Berdiri di tengah stasiun dekat penjual majalah eceran, aku sangat menikmati berada di pusaran arus orang-orang yang mempercepat langkahnya pulang ke rumah masing-masing. Bersenandung sendiri.

“Rei! Ngelamun aja loe” Mba Vivi menegurku sambil senyum-senyum. Aku hanya menatapnya sambil terus membereskan tasku. Sudah waktunya jam pulang.

“Cieeee, yang mau ketemu Hush Puppies” dari sudut kubikelku, mba Ivon melongokan
kepalanya dan menggodaku.
“Elah udah hushh sana pada pulang” usirku pura-pura galak.
“Iyeeee...iyeeee...husshhhh pupiesssss” Mba Vivi menjawab sekenanya sambil ngeloyor
pulang.
“Rei ayo cepetan pulang” ajak Mba Ivon buru-buru menarik tanganku. Aku mengikutinya
hingga ke tempat absen. Dan kemudian teringat sesuatu.
“Mba, gue gak bareng ya. Mau ke Giant dulu ada titipan nyokap” ujarku
“Hah, yakin loe? Ntar gak ketemu Hush Puppies lho..”
“Iyeeeeee, gimana dong ini titipan nyokap” aku pun mendahuluinya berjalan ke lorong
menuju pintu keluar dan melambaikan tanganku.

Di Giant sambil berbelanja aku pun berpikir dengan geli. Semua orang di kantorku kini tahu kalau aku naksir pria Hush Puppies. Terima kasih atas keramahan Mba Ivon yang bercerita setiap makan siang di kantor. Sampai-sampai supervisorku pernah hampir nekat mau ikut ke stasiun hanya untuk melihat bagaimana rupa Hush Puppies! Astaga, terkadang mulut Mba Ivon memang susah direm. Entah apa saja cerita yang beredar.

Aku melirik jamku ketika sampai Stasiun Sudirman. Jam setengah delapan lebih sedikit. Hush Puppies pasti sudah pulang. Aku pun memindahkan kantong belanjaanku dari tangan kiri ke tangan kanan. Dan mulai mengaduk tasku demi mencari handphone untuk mengirim sms. Tanpa melihat ke depan.
Brukk! Aku menabrak punggung seseorang, Perasaanku sih pelan. Tapi kenapa bunyinya lumayan kencang? Ketika aku melihat siapa yang aku tabrak. Rasanya seperti dapat undian lotere saja. Hush Puppies!

Aku hanya mengerjap-ngerjapkan mataku hingga beberapa saat. Tidak percaya pada penglihatanku sendiri.

“Ah, maaf ya mba” pria itu, pria Hush Puppies.
“Iya..tidak apa-apa..saya yang salah” ragu-ragu aku menjawabnya. Dan baru kurasakan itu. Desiran geli di perutku. Setelah berbulan-bulan menjadi pengamat setia si Hush Puppies,
baru kali ini terasa. Hush Puppies melirik ke arah kantong belanjaanku. “Ada yang hancur?”
Aku ikutan melirik. Tersenyum sambil menggeleng, aku tak bisa tidak harus segera meredakan debaran
jantungku ini. “Enggak kok mas, tenang aja cuma minuman kaleng”

Hush Puppies hanya mengangguk lega. Lalu dia melihat sekeliling. Demi melihat Hush Puppies yang seperti akan beranjak pergi. Pikir Rei pikir! Ajak dia kenalan! Gugup dengan pikiranku sendiri, aku langsung menyapanya kembali.

“Eeemmmmm, mas naik jurusan apa? Keretanya sudah datang belum ya?” tanyaku agak meracau.
“Hmm... belum tuh. Saya naik yang ke Pondok Ranji. Tapi dari tadi belum ada tuh. Sepertinya ada gangguan” Sesaat Hush Puppies berkata itu, terdengar langsung suara petugas wanita di pengeras
suara.

“Perhatian...perhatian...kereta sudah berangkat dari stasiun Manggarai. Mohon maaf
atas keterlambatannya”
“Hah, syukurlah...” aku menarik napas. Lega sungguhan. Tidak terbayang kalau
semalam ini masih gangguan juga.
“Mba mau kemana? “ tanya Hush Puppies.
“Sama, saya juga turun Pondok Ranji” sambil berusaha tersenyum semanis mungkin.
“Oh ya? Bareng saja kita” tawar Hush Puppies.

Tentu saja aku tidak menolak ajakan itu. Dan ketika kereta datang walaupun tanpa ada harapan duduk. Siapa lagi wanita yang sedang paling senang sedunia selain aku.

Hush Puppies aslinya bernama Bram. Bekerja di salah satu gedung di daerah Sudirman. Hmmm, kalau makan siang bareng bisa nih dari Cikini. Pikirku. Haha. Berharap kan boleh. Bekerja sebagai warehouse staff. Jadi kadang-kadang keliling cabang untuk mengecek dan mengawasi barang. Tentu saja perjalanan selama satu setengah jam berdiri dan penuh sesak itu juga kugunakan untuk memperkenalkan diriku.

Reina, senior admin di distributor alat kesehatan. Rumah, hanya sekali angkutan umum dari stasiun Pondok Ranji. Dan ternyata usia kami hanya terpaut setahun. Aku 27. Bram 28. Hanya itu saja perkenalan kami. Selebihnya, lebih banyak curahan hati tentang kereta. Tentang demo di bundaran HI yang kemarin ada. Tentang restoran sushi yang baru dibuka di dekat stasiun Sudirman. Semua orang pun tahu aku ingin diajak makan siang disana!

Ketika pada akhirnya kereta sampai ke tujuan kami. Kami berjalan keluar pintu stasiun berbarengan. Dan aku hanya melambaikan tanganku.

“Sampai ketemu lagi Bram” sekali lagi, aku memamerkan senyum termanisku.
Bram pun melambaikan tangannya.

“Bye..”
Aku tidak mencoba meminta nomor handphone nya. Entahlah, aku yakin akan bertemu dia lagi.

Semenjak kejadian aku dan Hush Puppies enam bulan yang lalu itu. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Padahal biasanya instingku tidak pernah salah. Dan semuanya di kantor selalu menanyakan.

“Udah ketemu Hush Puppies belom Rei?”
“Gimana perkembangannya dengan Hush Puppies?”

Kantorku tidak pernah kehabisan rasa penasarannya. Dan sekali lagi, terima kasih atas keramahan Mba Ivon.

“Yuk Rei pulang”

Aku melihat jam di layar komputerku. Sore ini tumben sekali setengah jam sebelum
pulang mba Ivon sudah menghampiri kubikelku.

“Ya ampun mba, belom kali...” kata-kataku menggantung demi mengingat besok itu cuti
bersama. Dan bos besar sudah mengijinkan kami pulang dari jam 3 sore.

“Oke deh, bentar gue siap-siap dulu ya mba” secepat kilat aku men-save semua pekerjaanku dan
membereskan meja. Lalu setengah berlari aku dan mba Ivon absen. Masih berlari dan baru berhenti di bis dan sampai stasiun. 

“Masih kekejar Rei” ngos-ngosan mba Ivon berkata. “Gue mau beli ice latte dulu ya,
haus” tanpa persetujuanku mba Ivon menuju stand penjual ice latte. “Gue nitip ya mba”

Ketika lenganku ditepuk dari samping.
“Rei..”
Akupun menoleh.
“Bram! Heiii, lama gak kelihatan”. Bram pun hanya tertawa.
“Gak pernah naik kereta lagi ya?” tanyaku langsung.
“Masih kok, tapi jamnya yang beda sekarang”
Belum sempat aku menyahut lagi.

“Mas...” suara seorang perempuan, halus memanggilnya. Kami berdua menoleh. Bram langsung merangkul lengannya. Aku pun tak urung tersenyum pada wanita itu.

“Yuk Rei, duluan ya” Bram melambaikan tangannya.
Wanita itu pun tersenyum kembali padaku. Sambil berlalu, ia menyerahkan segelas ice latte pada Bram. Sedangkan ia juga memegang segelas yang lain. Sekilas, kulihat kilatan cincin di jari Bram ketika menerima ice latte. Kilatan yang sama di jari wanita itu. Dan wanita itu mengenakan jaket Hush Puppies milik Bram.

“Reeiiiii...” rengekan mba Ivon tiba-tiba di sebelahku.
“Kenapa mbaaa?”
“Gak kebagian ice latte nya. Dua yang terakhir diborong sama mba-mba gitu”

Akupun menoleh ke arah pasangan tadi pergi.
“Terima kasih” gumamku.

“Hah? Kok terima kasih Rei?” Mba Ivon melongo mendengar gumamanku.
“Loe tuh suka denger aja deh kalo gue lagi ngomong sendiri” aku merangkul gemas
mba Ivon dan mengajaknya menuju peron kami.

“Lagian kok ngomong sendiri, serem tahu..” protesnya.
Aku hanya tertawa kecil.

Terima kasih telah singgah. Bisikku dalam hati. 


Catatan kaki : Dibuat dalam rangka terinspirasi dari kisah nyata quick flick teman kantor gw yang saat ini jadi salah satu teman kesayangan. Yes bok, kalau loe liat ini, ini tentang loe :)) Walaupun gw gak tau kejadian akhirnya gimana. 


Komentar

Postingan Populer